SKALA PRIORITAS DALAM DAKWAH
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Ketika Rasulullah s.a.w. mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, “Kamu nanti akan mendatangi para Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). Serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah mematuhi kamu untuk itu, maka beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mematuhi kamu untuk itu, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan kepada mereka untuk membayar zakat, yang dikeluarkan dari mereka yang kaya dan diberikan kepada mereka yang fakir miskin. Jika mereka telah mematuhi kamu semua itu, maka hati-hatilah terhadap harta milik yang mereka muliakan, dan takutlah melakukan sesuatu yang menyebabkan orang yang teraniaya berdoa. Sebab antara doanya dan Allah tidak terdapat hijab (penghalang) sama sekali.” (HR. al-Bukhari: 1401 dan Muslim: 27)
Ahli kitab yang disebut-sebut oleh Nabi di atas mengacu pada penduduk Yaman yang menganut Agama Nashrani dan Yahudi. Jauh sebelum Islam didakwahkan kepada mereka, mereka telah lama mengetahui ajaran tauhid dan keimanan. Mereka juga memiliki pengetahuan yang tinggi dan peradaban yang maju daripada orang-orang yang bukan ahli kitab, karena mereka secara langsung bergulat dengan kitab suci yang banyak mengekplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Bahkan dari kitab sucilah, mereka sebenarnya telah mengetahui sifat-sifat Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad s.a.w..
Atas dasar inilah, tidak mengherankan jika banyak diantara mereka langsung mengapresiasi Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya daripada kaum musyrikin dan kaum majusi yang terang-terangan menolaknya.
Trilogi Prinsip Dakwah
Sebagaimana halnya seorang pemimpin umat, Nabi s.a.w. tidak henti-hentinya memberikan amanat sebagai bekal dakwah untuk para delegasinya yang dikirimkan ke berbagai daerah. Diantaranya adalah bekal dakwah beliau yang disampaikan kepada Muadz bin Jabal sebelum diutus ke Yaman.
Saat itu, Rasulullah memberikan amanatnya kepada Muadz bin Jabal, beliau menyampaikan trilogi prinsip dakwah; (1) pengadaan appersepsi yang matang, (2) pemilihan skala prioritas atas materi yang hendak disampaikan, dan (3) penghindaran atas tindakan dan ucapan yang dapat menyakitkan hati orang yang didakwahi. Dengan ketiga prinsip itulah, Islam tersebar ke seluruh semenanjung Arabia, bahkan sampai ke wilayah kekuasaan Byzantium Romawi dan Persia serta wilayah-wilayah di sekitarnya. Semuanya dilakukan dengan damai, tanpa paksaan, dan penuh keramahan.
Prinsip (1) pengadaan appersepsi yang matang maksudnya adalah mengadakan kajian dan penelitian pra-dakwah tentang kondisi dan situasi masyarakat yang akan didakwahi. Sehingga persiapan materi dan metode dakwah yang hendak disampaikan dapat teratur, efektif, dan tepat mengenai sasaran. Sebagaimana di ketahui, masyarakat yang akan dihadapi itu bersifat plural. Diantara mereka ada orang awam, cendekiawan, petani, pengusaha, pejabat, siswa, mahasiswa, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki spesifikasi yang harus dipahami oleh seorang dai agar dapat menyesuaikan dengan materi dan metode dakwah yang akan disampaikan.
Nabi s.a.w. dalam hadis di atas, menegaskan kepada Muadz bin Jabal sebelum menjalankan misi dakwahnya, bahwa masyarakat yang akan dihadapinya itu adalah kaum Ahli Kitab yang nota bene sudah mengerti tentang ajaran tauhid dan kenabian. Karenanya, ia harus mempersiapkan materi dan metode dahkwahnya secara khusus agar mereka dapat menerima ajaran dakwahnya sesuai dengan perbedaan kapabilitas daya pikir mereka.
Selanjutnya (2) pemilihan skala prioritas. Dalam menyeru kepada orang-orang yang belum mengenal ajaran Islam, hendaklah disampaikan rukun-rukun Islam itu secara gradual sesuai dengan skala prioritas. Jika pengajaran yang satu sudah teguh dan mantap, maka dilanjutkan dengan pengajaran selanjutnya. Demikian seterusnya. Hal ini bertujuan agar masyarakat yang didakwahi tidak merasa tertekan dengan tuntutan-tuntutan yang akan membuat mereka lari dari ajaran dakwah yang disampaikan.
Seperti yang terjadi dalam proses pelarangan minuman keras dan judi, hal itu dilakukan Islam secara gradual. Sebagaimana telah diketahui secara umum bahwa minuman keras dan judi sudah sangat mendarah daging di kalangan masyarakat Arab jahiliyah sebelum datangnya Islam. Untuk mengarahkan umat Islam yang masih terbiasa dengan perbuatan yang tercela tersebut, al-Qur’an melakukannya secara bertahap.
Dimulai ketika Umar bin al-Khattab yang mewakili kelompok senior shahabi dan Muadz bin Jabal yang mewakili junior shahabi, datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Berikanlah fatwa kepada kami, wahai Rasulullah tentang minuman keras dan judi, karena keduanya menghilangkan akal dan merampas harta benda.” Lalu turunlah ayat al-Qur’an menjawab pertanyaan tersebut: “Mereka bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan terdapat beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya jauh lebih besar dari manfaatnya…” (QS. al-Baqarah, 2:219). Ayat ini mengantarkan masyarakat yang tadinya membanggakan minuman keras dan judi kepada suatu pemahaman bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat dosa yang besar, meskipun dalam tahapan ini masih disebutkan ada manfaatnya. Misalnya dengan minuman keras, orang bisa menghilangkan kesulitan-kesulitan sementara, dan dengan judi orang dapat memperoleh uang tanpa susah payah. Setelah turun ayat ini, masyarakat secara bertahap mulai menjauh dari minuman keras dan judi.
Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai terjadi suatu kasus, ada seorang sahabat yang menjadi imam shalat, padahal ia habis meminum minuman keras dan masih agak mabuk. Ia membaca Surat al-Kafirun setelah Surat al-Fatihah. Sewaktu membaca Surat al-Kafirun, imam yang satu ini menghilangkan semua La Nafiyah (yang bermakna “tidak”) sehingga artinya terbalik sama sekali. Seharusnya ia membaca: “Katakanlah wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu pun bukanlah penyembah apa yang aku sembah.” dibaca, “Wahai orang-orang kafir aku menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu penyembah apa yang aku sembah…” dan seterusnya sampai akhir surat. Pada kasus ini turunlah ayat al-Qur’an yang melarang orang melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” (QS. al-Nisa, 4: 43)
Setelah turun ayat ini, masyarakat tidak berani lagi meminum minuman keras. Sehabis shubuh mereka bekerja sehingga tidak mungkin meminum minuman keras sampai waktu shalat Dzhur. Dari waktu Dzuhur sampai waktu Ashar waktunya sangat dekat, sehingga mereka tidak mungkin meminum minuman keras. Demikian pula dari waktu Ashar, Maghrib, sampai Isya maka mereka pun tidak berani meminum minuman keras. Nah, setelah Isya, waktu shalat yang sangat panjang, saat itulah masih ada di antara mereka yang terpaksa meminum minuman keras tetapi jumlahnya amat sangat sedikit. Dan itupun tidak sempat karena lelah dan tertidur. Setelah masyarakat terkondisikan seperti ini, barulah turun ayat al-Qur’an yang melarang secara keras minuman keras dan judi sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah, 5:90)
Dalam hadis di atas, Rasulullah s.a.w. berwasiat agar Muadz mendahulukan pembinaan mental dan i’tikad keimanan dari segalanya. Untuk merealisasikan pembinaan keyakinan dan kemantapan hati dalam mengakui keesaan Allah dan kerasulan Muhammad serta membenarkan syariat yang dibawanya diperlukan ikrar yang tulus dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Setelah ikrar tersebut sudah diucapkan melalui lisan, maka langkah selanjutnya adalah dengan mengajarkan isi dari ikrar tersebut melalui praktik dan perbuatan. Diantaranya adalah kewajiban shalat lima waktu sehari semalam. Jika kewajiban ritual itu telah dilaksanakan dengan sempurna, maka berikutnya disampaikan tentang kewajiban zakat sebagai ibadah sosial yang dikeluarkan untuk fakir miskin dan golongan masyarakat yang membutuhkan. Dengan demikian, mereka berarti telah melaksanakan ajaran Islam.
Kewajiban puasa Ramadhan dan ibadah haji, dalam hadis di atas tidak disebutkan. Dalam hadis lainnya, dari riwayat Ibnu Umar, Nabi s.a.w. bersabda,
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Islam itu didirikan atas lima dasar; (1) persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) membayar zakat, (4), melaksanakan haji, dan (5) berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR. al-Bukhari: 7 dan Muslim: 21)
Untuk mengsinkronkan antara kedua hadis ini, para ulama berpendapat bahwa ketiga rukun Islam dalam hadis pertama merupakan rukun Islam yang pokok, sedangkan penjabarannya dijelaskan dalam hadis yang kedua. Sebab menurut mereka, rukun Islam yang lima itu sebenarnya berpangkal pada tiga pokok; (a) rukun yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat yang meyakini keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.. (b) Rukun yang berkaitan dengan aktivitas jasmani, yaitu shalat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan. Dan (c) rukun yang berkaitan dengan harta kekayaan, yaitu mengeluarkan zakat. Sedangkan haji adalah ibadah yang berkaitan dengan aktivitas jasmani dan harta kekayaan sekaligus. (Fatchurrahman: 1966:II/158)
Langkah dakwah berikutnya (3) penghindaran atas tindakan dan ucapan yang dapat menyakitkan hati orang yang didakwahi. Rasulullah s.a.w. selalu mengingatkan kepada para dai, petugas pemerintahan, penguasa daerah, dan para pejabat peradilan, agar menjauhi segala tindakan dan ucapan yang menyebabkan orang teraniaya mendoakan celaka kepada mereka. Mereka harus hati-hati dalam merealisasikan kebijakan dan harus mengetahui sense of people setempat. Sehingga masyarakat dapat mengikuti instruksi atau himbauan yang mereka canangkan dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, kebijakan dan seruan yang memberatkan hendaklah dihindarkan, karena hal itu akan menzalimi hak-hak masyarakat.
Apabila umat atau masyarakat telah merasa sakit hati dan terzalimi karena kebijakan yang semena-mena, maka doa mereka yang tulus dengan hati penuh harap akan mengangkasa, menerobos awan berarak, membuka tabir penghalang dan menerjang palang perintang untuk mengadu kepada Yang Maha Penyayang. Sebenarnya Allah tidak menyukai doa untuk mencelakakan orang lain, tetapi karena itu muncul dari seorang hamba-Nya yang sakit hati dan terzalimi, maka Allah berkenan untuk mengabulkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah s.w.t.:
* w =Ïtä ª!$# tôgyfø9$# Ïäþq¡9$$Î/ z`ÏB ÉAöqs)ø9$# wÎ) `tB zOÎ=àß 4 tb%x.ur ª!$# $·èÏÿx $¸JÎ=tã ÇÊÍÑÈ
Artinya: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Nisa, 4:148)
Tentang dikabulkannya doa orang yang terzalimi ini, tidak dibeda-bedakan, apakah ia seorang yang taat beribadah maupun seorang yang berdosa. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ مُسْتَجَابَةٌ وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا فَفُجُورُهُ عَلَى نَفْسِهِ (رواه أحمد)
Artinya: “Doanya orang yang teraniaya adalah mustajab. Jika ia seorang yang maksiat, maka dosa kemaksiatannya di tanggung sendiri. (HR. Ahmad: No. 8440)
Kesimpulan:
Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis-hadis di atas merupakan pedoman bagi juru dakwah dan pelaksana pemerintahan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan menyangkut hal ihwal hidup bermasyarakat. Mereka harus selalu mengacu pada tiga prinsip utama, yaitu (1) pengadaan appersepsi yang matang, (2) pemilihan skala prioritas atas materi yang hendak disampaikan, dan (3) penghindaran atas tindakan dan ucapan yang dapat menyakitkan sesama, sehingga semua kebijakan yang ditempuh memihak pada semua kalangan. Dengan demikian, tujuan dakwah untuk membangun bangsa yang beriman dan berkepribadian serta berpendidikan akan mudah dicapai berkat modal kebersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar